BAB I
PENDAHULUAN
A.Latar
Belakang
Riau, baik Riau daratan maupun Riau kepulauan, mempunyai latar belakang
sejarah yang cukup panjang. Berbagai tinggalan budaya masa lampau banyak
ditemukan di wilayah provinsi itu. Riau Kepulauan pernah berjaya dengan
Kerajaan Riau-Lingga dengan pusatnya di Pulau Penyengat. Tinggalan-tinggalan
budaya itu ada yang berupa benda bergerak maupun benda tak bergerak seperti
bangunan masjid, istana, benteng, dan makam raja-raja Riau-Lingga.
Suku Melayu
merupakan etnis yang termasuk ke dalam rumpun ras Austronesia. Suku Melayu
dalam pengertian ini, berbeda dengan konsep Bangsa Melayu yang terdiri dari
Indonesia, Malaysia, Brunei Darussalam, dan Singapura.
Suku Melayu
bermukim di sebagian besar Malaysia, pesisir timur Sumatera, sekeliling pesisir
Kalimantan, Thailand Selatan, Mindanao, Myanmar Selatan, serta pulau-pulau
kecil yang terbentang sepanjang Selat Malaka dan Selat Karimata. Di Indonesia,
jumlah Suku Melayu sekitar 3,4% dari seluruh populasi, yang sebagian besar
mendiami propinsi Sumatera Utara, Riau, Kepulauan Riau, Jambi, Sumatera
Selatan, Bangka Belitung, dan Kalimantan Barat.
Dalam buku
Sejarah Melayu disebut bahwa Melayu adalah nama sungai di Sumatera Selatan yang
mengalir disekitar bukit Si Guntang dekat Palembang. Si Guntang merupakan
tempat pemunculan pertama tiga orang raja yang datang ke alam Melayu. Mereka
adalah asal dari keturunan raja-raja Melayu di Palembang (Singapura, Malaka dan
Johor), Minangkabau dan Tanjung Pura.
Pada waktu itu
sebutan Melayu merujuk pada keturunan sekelompok kecil orang Sumatera pilihan.
Seiring dengan berjalannya waktu definisi Melayu berdasarkan ras ini mulai
ditinggalkan.
Berdasarkan dari
uraian diatas maka kami ingin lebih memperluas kembali suku Melayu khususnya
yang berada di Provinsi Riau dan Kepulauan Riau.
B.
RUMUSAN MASALAH
1.
Bagaimana
kondisi geografis Provinsi Riau dan Kepulauan Riau?
2.
Apa sistem
kemasyarakatan dari suku Melayu-Riau?
3.
Apa bahasa
yang dipakai suku Melayu-Riau?
4.
Apa kesenian
dari suku Melayu-Riau?
C.
TUJUAN
1.
Untuk
mengetahui kondisi geografis Provinsi Riau dan Kepulauan riau
2.
Untuk mengetahui sistem kemasyarakatan dari
suku Melayu-Riau.
3.
Untuk
mengetahui bahasa yang dipakai suku Melayu-Riau.
4.
Untuk
mengetahui kesenian dari suku Melayu-Riau.
BAB II
PEMBAHASAN
KEBUDAYAAN
MELAYU-RIAU
A.KONDISI
GEOGRAFIS
Provinsi
Riau
Daerah Provinsi Riau yang terletak antara 10
5’ Lintang Selatan dengan 20 25’ Lintang Utara dan 1000
dengan 1050 45’ Bujur Timur, sebelah utara berbatasan dengan
provinsi Sumatera Utara dan Selat Malaka, sebelah selatan berbatasan dengan
Provinsi Jambi, sebelah timur berbatasan dengan Selat Malaka, Selat Singapura
dan Laut Cina Selatan, dan sebelah barat berbatasan dengan Provinsi Sumatera
Barat dan Provinsi Sumatera Utara.
Daerah Provinsi Riau luasnya 395.102
kilometer, terdiri dari daratan dan pulau-pulau 94. 562 km2, lautan
176.530 km2 dan danau dan rawa-rawa 124.010 km2. 60% dari
daratan yaitu kira-kira 66.000 km2 ditumbuhi oleh hutan primer dan
sekunder. Selain dari itu daerah ini terdiri dari pulau-pulau yang sangat
banyak. Pulau-pulau yang ada besar-kecil sejumlah 3.214 buah, dengan panjang
garis pantai 1.800 mil. Sedangkan jumlah penduduknya adalah 1.640.225 orang
(berdasarkan sensus tahun 1975).
Provinsi Riau terdiri dari daerah daratan dan
daerah kepulauan. Kedua daerah itu disebut dengan daerah “Riau daratan” dan
“Riau kepulauan.” Riau daratan
mencangkup empat kabupaten dan satu kota madya yaitu:
-
Kotamadya
Pekanbaru
-
Kabupaten
Kampar
-
Kabupaten
Bengkalis
-
Kabupaten Indragiri
-
Kabupaten indra giri hilir
Riau kepulauan terdiri hanya satu kabupaten
saja, yaitu Kabupaten Kepulauan Riau dengan ibukota Tanjung Pinang. Kabupaten
Kepulauan Riau ini adalah daerah yang disebut “Riau Arhcipel” pada zaman
Belanda dahulu. Oleh karena itu tidak mencakup pulau-pulau yang dekat dengan
pantai daratan yang termasuk dalam kabupaten-kabupaten yang berada di Riau
daratan.
Pada umumnya Riau daratan sebagian besar
terdiri dari hutan-hutan, hutan primer dan hutan sekunder dan tidak kurang pula
di sana-sini terdapat rawa-rawa, bencah-bencah, tasik-tasik dan danau-danau.
Pada umunya Riau daratan ini merupakan tanah rendah dan bukit-bukit yang
terdapat dekat perbatasan dengan daerah Sumatera Barat dan Tapanuli, yaitu kaki
Bukit Barisan. Daerah yang tertinggi
1.019 meter dari permukaan laut.
Daerah Riau kepulauan terdiri dari
gugusan-gugusan pulau-pulau dekat perairan Malaysia dan menjorok masuk ke Laut
Cina Selatan dan dekat dengan pantai Kalimantan Barat. Gugusan pulau-pulau itu
adalah :
1.
Gugusan
pulau-pulau Bintan, terdiri dari Pulau Buluh, Pulau Belakang Padang, Pulau
Batam dan Pulau Sambu.
2.
Gugusan
pulau-pulau Lingga, terdiri dari Pulau Lingga, Pulau Singkep, Pulau Penuba,
Pulau Sebangka, dan Pulau Bakung.
3.
Gugusan
pulau-pulau Serasan, terdiri dari Pulau Subi Besar dan Pulau Subi Kecil.
4.
Gugusan
pulau-pulau Tambelan, terdiri dari Pulau Tambelan, Pulau Benua dan Pulau
Panjang.
5.
Gugusan
pulau-pulau Tujuh, terdiri dari Pulau Siantan dan Pulau Jemaja.
6.
Gugusan
pulau-pulau Bunguran, terdiri dari Pulau Bunguran, Pulau Laut dan Pulau Midai.
7.
Gugusan
pulau-pulau Natuna, terdiri dari Pulau Natuna dan Pulau Anambas.
8.
Gugusan
pulau-pulau Karimun, terdiri dari Pulau Karimun, Pulau Kundur, dan Pulau Moro
Sulit.
Provinsi
Kepulauan Riau
Secara geografis provinsi Kepulauan Riau
berbatasan dengan negara tetangga, yaitu Singapura, Malaysia dan Vietnam yang
memiliki luas wilayah 251.810,71 km² dengan 96 persennya adalah perairan dengan
1.350 pulau besar dan kecil telah menunjukkan kemajuan dalam penyelenggaraan
kegiatan pemerintahan, pembangunan, dan kemasyarakatan. Ibukota provinsi
Kepulauan Riau berkedudukan di Tanjung Pinang. Provinsi ini terletak pada jalur
lalu lintas transportasi laut dan udara yang strategis dan terpadat pada
tingkat internasional serta pada bibir pasar dunia yang memiliki peluang pasar.
GAMBARAN
UMUM TENTANG DEMOGRAFI
Yang dinamakan penduduk asli di daerah ini
adalah penduduk Suku Melayu. Di samping itu terdapat pula suku-suku terbelakang
yaitu Suku Sakai dan Suku Akit yang terdapat di Kabupaten Bengkalis, Suku
Talang Mamak di Inderagiri Hulu, Suku Bonai di Kabupaten Kampar dan Suku Orang
Laut di Kabupaten Kepulauan Riau.
C.SISTEM
KEMASYARAKATAN
Jika pada mulanya suatu kampung di Riau
didiami oleh mereka yang sesuku, maka pada perkembangn kemudian telah banyak
penduduk baru yang bukan sesuku merupakan penduduk pendatang yang ikut berdiam
di kampung tersebut. Datangnya penduduk baru mungkin disebabkan perkawinan dan
ada pula disebabkan adanya mata pencaharian ditempat tersebut. Dengan demikian,
masyarakat kampung tadi tidak terikat oleh karena kesatuan suku, tetapi dengan
perkembangan baru itu, ikatan tersebut tidak lagi bersifat kesukuan, tetapi
terikat karena kesatuan tempat tinggal dan kampung halaman.
Kampung-kampung tersebut dipimpin oleh seorang
kepala kampung yang disebut “Penghulu” dan sekarang merupakan pamong desa yang
dipilih berdasar peraturan pemerintah.
Disamping penghulu
ini terdapat pula pimpinan bidang agama, yaitu “imam”. Imam inilah yang
mengurus segala persoalan yang menyangkut keagamaan, seperti menjadi imam
mesjid, pengajian dan pelajaran agama, nikah/cerai/rujuk, pembagian warisan,
pengumpulan zakat dan lainnya. Dengan demikian penghulu dengan didampingi oleh
imam merupakan pimpinan kampung.
a.Pimpinan
dalam kesatuan hidup setempat
Terdapat bermacam-macam sebutan untuk pimpinan
dalam kesatuan hidup setempat. Pada mulanya struktur kesatuan hidup setempat
berdasarkan kesukuan, maka pemimpin adalah kepala suku atau kepala hinduk.
Gelar kepala suku atau kepala hinduk ini bermacam-macam, sebagai berikut:
1.
Datuk =
disamping menjadi kepala suku, sekaligus menjadi pimpinan territorial yang agak
luas yang mencakup dan membawahi beberapa kepala suku dan hinduk-hinduk.
2.
Penghulu,
batin, tua-tua, jenang dan monti adalah gelar untuk kepala suku dan
hinduk-hinduk.
Perkembangan kemudian menyebabkan pula
perobahan batas-batas territorial, kalau pada mulanya territorial mengikuti
suku, yaitu dimana suku tersebut menetap, maka lingkungan tempat tinggalnya itu
menjadi daerah kekuasaannya. Tetapi keadaan ini kemudian berbalik, yaitu
suku yang mengikuti territorial.
Teritoir ini kemudian disebut “kampung”, “rantau” atau “banjar”. Mereka yang
tinggal dalam lingkungan teritoir tadi mejadi penduduk kampung dan dengan
sendirinya kampung ini mencakup beberapa kesukuan. Untuk kampung, rantau atau
banjar ini diangkat seorang kepala kampung yang disebut “penghulu”.
b.Hubungan
sosial dalam kesatuan hidup setempat
Dikampung-kampung penduduk saling mengenal satu sama lain,
karena masyarakat
kampung memiliki rasa keterikatan antara satu sama lainnya masih kuat.
Kerukunan merupakan cirri khas dari masyarakat
kampung-kampung tersebut. Adanya kerukunan ini bukan disebabkan karena paksaan
dari luar berupa sangsi-sangsi hukuman yang keras, tetapi memang timbul dari
hati nurani yang dipengaruhi oleh norma-norma yang hidup dimasyarakat itu.
Mulai dari gerak-gerik, sikap dan pembawaan
dipengaruhi oleh faktor ini. Menghindarkan hal-hal yang dapat menimbulkan aib
dan malu merupakan fakor pendorong untuk terus berbuat dan bersikap baik
terhadao sesamanya dan perasaan yang demikian lebih kuat dibandingkan dengan
perasaan berdosa. Segala tindakan harus dijaga supaya tidak menimbulkan
“sumbang mata”, “sumbang telinga”, “sumbang adab”. Secara keseluruhan haruslah
dihindari hal-hal yang menyebabkan orang di cap sebagai seorang yang “tidak tau
adat’.
Dengan demikian jelaslah, norma-norma yang
bersifat lebih besar pengaruhnya, sehingga jarang dijumpai adanya pertikaian
dan sengketa. Dalam hal ini pengaruh kepemimpinan penghulu dan imam merupakan
saham yang besar, sehingga
pertikaian-pertikaian yang timbul segera dapat didamaikan.
c.Stratifikasi
Sosial
Dasar-dasar stratifikasi sosial
Adapun masyarakat di saerah ini pada dasarnya
terdiri dari dua golongan, yaitu golongan asli dan golongan penguasa. Sebelum
adanya kerajaan Siak Sri Inderapura, kepala-kepala suku yang menguasai hutan
tanah, “territorial” bernaung dibawah kerajaan Johor.
Setelah Raja Kecil yang dapat meduduki takhta
Kerajaan Johor, terpaksa meninggalkan Johor dan terkhir membuka kerajaan baru
di sungai Siak, maka kerajaannya dinamakan “Kerajaan Siak Sri Inderapura”.
Dengan keadaan yang baru ini, terjadilah pembagian golongan dalam masyarakat.
Jika pada mulanya yang ada hanya kepala suku sebagai puncak dan anggota sukunya
sebagai dasarnya, maka dengan adanya Sultan beserta keturunannya, terjadilah
tingkatan sosial baru sebagai berikut:
1.
Raja/Ratu dan
Permaisuri yang merupakan tingkat teratas.
2.
Keturunan
Raja yang disebut anak Raja-raja, merupakan lapisan kedua,
3.
Orang
baik-baik yang terdiri dari Datuk Empat Suku dan Kepala-kepala suku lainnya
beserta keturunannya merupakan lapisan ketiga,
4.
Orang
kebanyakan atau rakyat umum, merupakan tingkatan terbawah.
Adanya tingkatan sosial tersebut membawa
konsekuensi pula dibidang adat istiadat dan tata cara pergaulan masyarakat.
Makin tinggi golongannya semakin banyak hak-haknya. Keistimewaan dalam tata
pakaian, tempat duduk dalam upaca-upacaramenunjukan adanya perbedaan itu.
D.BAHASA
Bahasa
Kepulauan Riau
Bahasa yang
dipakai adalah bahasa resmi yaitu Bahasa Indonesia dan ada juga yang
menggunakan bahasa Melayu.
Bahasa Melayu
Riau mempunyai sejarah yang cukup panjang, karena pada dasarnya Bahasa
Indonesia berasal dari bahasa Melayu.
Pada Zaman
Kerajaan Sriwijaya, Bahasa Melayu sudah menjadi bahasa internasional Lingua
franca di kepulauan Nusantara, atau sekurang-kurangnya sebagai bahasa
perdagangan di Kepulauan Nusantara. Bahasa Melayu, semenjak pusat kerajaan
berada di Malaka kemudian pindah ke Johor, akhirnya pindah ke Riau mendapat
predikat pula sesuai dengan nama pusat kerajaan Melayu itu. Karena itu bahasa Melayu
zaman Melaka terkenal dengan Melayu Melaka, bahasa Melayu zaman Johor terkenal
dengan Melayu Johor dan bahasa Melayu zaman Riau terkenal dengan bahasa Melayu
Riau.
Pada zaman
dahulu ada beberapa alasan yang menyebabkan Bahasa Melayu menjadi bahasa resmi
digunakan, yaitu :
1.
Bahasa Melayu
Riau secara historis berasal dari perkembangan Bahasa Melayu semenjak
berabad-abad yang lalu. Bahasa Melayu sudah tersebar keseluruh Nusantara,
sehingga sudah dipahami oleh masyarakat, bahasa ini sudah lama menjadi bahasa
antar suku di Nusantara.
2.
Bahasa Melayu
Riau sudah dibina sedemikian rupa oleh Raja Ali Haji dan kawan-kawannya,
sehingga bahasa ini sudah menjadi standar.
3.
Bahasa Melayu
Riau sudah banyak publikasi, berupa buku-buku sastra, buku-buku sejarah dan
agama baik dari zaman Melayu klasik maupun dari yang baru.
4.
Secara
geografis, Riau merupakan daerah yang terbuka terhadap berbagai pengaruh dan
menerima keadaan sebagai tempat perhimpunan potensi bermacam-macam kesenian. Di
pedalaman Riau, kesenian tradisional dapat bertahan lebih kuat daripada di
kota, sebagaimana yang juga terjadi pada daerah-daerah lainnya di Indonesia.
Kesenian yang bernapaskan Islam bertahan dan berkembang lebih luas, terutama di
desa-desa, sedangkan warna Melayu asli setengah tenggelam, sebagian lagi
dilanjutkan di desadesa, namun kurang diminati di kota.
5.
Bentuk dan
jenis kesenian yang menonjol di Riau ialah seni sastra, teater, nyanyian, dan
tari. Garapan hasil sastra yang bercorak daerah terus mendapat perhatian para
seniman setempat. Di bidang teater, teater kontemporer yang berlandaskan teater
tradisional masih cukup kuat, namun teater Makyong dikhawatirkan bakal punah.
Seni tari dan seni suara terus berkembang dengan adanya kreasi-kreasi baru.
Seni hias justru semakin bangkit setelah dipakai untuk kepentingan zaman
sekarang.
6.
Dibandingkan
dengan pembangunan fisik, perhatian terhadap kesenian agak jauh tertinggal.
Selain mementingkan pembangunan fisik, pembangunan spiritual di daerah ini
hendaknya digalakkan pula. Melalui sandiwara dan media seni lainnya,
pesan-pesan pembangunan dapat disampaikan dengan baik. Untuk itu diperlukan
pengadaan naskah-naskah yang dapat menunjang tujuan tersebut.
E.KESENIAN
Kesenian
Riau dan Perkembangannya
Berbagai bentuk dan jenis kesenian yang
terdapat di Riau, yaitu teater, tari, musik, nyanyian, dan sastra. Para
penghayat kesenian di perkotaan umumnya merasa asing terhadap kesenian
tradisional. Oleh karena itu, diperlukan penghubung yang apresiatif dengan
memperkenalkan segala jenis dan bentuk kesenian tradisional di perkotaan.
Dengan demikian, kesenian kontemporer yang tumbuh, hidup, dan berkembang di
perkotaan akan mempunyai fondasi yang kokoh dan ranggi dalam memberikan
sumbangan bagi kesenian nasional.
1.Sejarah
kesenian Melayu-Riau
Satu dasawarsa menjelang abad ke-20, berdiri
Rusydiah Klub, suatu perkumpulan untuk para cendekiawan, sastrawan, dan
budayawan. Perkumpulan ini berdiri di Riau, tepatnya di Pulau Penyengat yang
pada waktu itu menjadi pusat pemerintahan Kerajaan Riau Lingga. Pada hakekatnya,
perkumpulan ini merupakan lembaga kebudayaan yang mencakup kesenian,
pertunjukan, dan sastra. Kegiatannya bermula dari peringatan hari-hari besar
Islam, seperti Maulud Nabi, Isra-Mikraj, Nuzulul Quran, Idul Fitri, Idul Adha,
dan lain-lain yang kemudian berkembang sampai pada penerbitan buku-buku karya
anggota perkumpulan. Semua kegiatan ditunjang oleh sarana kerajaan yang berupa
perpustakaan Kutub KhanahMarhumAhmadi dan dua buah percetakan huruf
Arab-Melayu, yaitu Mathba‘atalAhmadiyah dan Mathba‘atalRiauwiyah.
Rusydiah Klub merupakan perhimpunan
cendekiawan pertama di Indonesia. Perkumpulan ini tidak disebut dalam sejarah
nasional, karena kurang telitinya pengumpulan bahan sejarah, atau mungkin
karena tidak adanya masukan dari pihak yang banyak mengetahui tentang hal itu.
Rusydiah Klub meninggalkan pusaka kreativitas berupa buku-buku sastra, agama,
sejarah, dan ilmu bahasa yang amat berharga. Jika Riau pada masa lalu sanggup
menyediakan fasilitasbagi kegiatan seni dan sastra, seharusnya Riau pada masa
kini mampu menyediakan fasilitas yang lebih baik lagi.
Riau sejak dahulu sudah menjadi daerah lalu
lintas perdagangan negaranegara tetangga, sehingga Riau melahirkan sosok dan
warna budaya yang beragam. Hal ini merupakan beban, sekaligus berkah
historis-geografis. Riau seakan-akan merupakan ladang perhimpunan berbagai
potensi kesenian, yang di dalamnya terdapat pengaruh kebudayaan negara-negara
tetangga dan kebudayaan daerah Indonesia lainnya. Kesenian Melayu Riau sangat
beragam, karena kelompok-kelompok kecil yang ada dalam masyarakat juga
berkembang. Perbedaan antara Riau Lautan dan Riau Daratan menunjukkan
keanekaragaman kesenian di Riau. Hal ini sekaligus sebagai ciri khas Melayu
Riau, karena dari pembauran kelompok-kelompok itu pandangan tentang kesenian
Riau terbentuk.
Kenyataan menunjukkan, kesenian di Riau dan
kesenian di negara-negara berkebudayaan Melayu seperti Malaysia, Singapura, dan
Brunei Darussalam saling mengisi dan saling mempengaruhi. Demikian pula dengan
daerah-daerah berkebudayaan Melayu seperti Deli, Langkat, Serdang, dan Asahan
di Sumatera Utara, Jambi, Kalimantan Barat, dan lainnya, juga terpengaruh
kebudayaan Minangkabau, Mandailing, Bugis, dan Jawa. Kebudayaan yang datang
dari luar Indonesia seperti India (Hindu-Budha), Arab (Islam), Cina, dan Siam
juga turut mempengaruhi. Kelenturan kebudayaan Melayu tersebut sejalan dengan
perkembangan sejarah dan letak geografis Riau, sehingga menjadikan Riau sangat
kaya dengan ragam ekspresi kesenian. Perkembangan kebudayaan Melayu di Riau itu
pada gilirannya dapat memperkaya kebudayaan nasional. Namun sayangnya tidak
sedikit cabang kesenian Melayu Riau yang semakin suram dan kurang mendapat
perhatian. Bentuk-bentuk kesenian ini hanya muncul dalam acara seremonial,
seperti pada waktu ulang tahun atau ketika ada kunjungan pejabat.
2.Perkembangan
Kesenian Di Riau
Kesenian Riau tumbuh, hidup, dan berkembang di
pedalaman, di desadesa terpencil, juga di kota-kota. Kesenian yang tumbuh dan
hidup di pedalaman kurang berkembang dan tidak menyebar karena terkurung dalam
lingkungannya. Masyarakat mengenal kesenian ini bukan semata-mata sebagai
hiburan, tetapi dikaitkan dengan kepercayaan dan bersifat spiritual yang
difungsikan sebagai penghubung antara manusia di alam nyata dengan penguasa di
alam gaib.
Kesenian Riau di
kota didukung oleh para pelajar, mahasiswa, dan seniman masa kini, sehingga
dapat berkembang. Perkembangan ini menghasilkan kesenian kreasi baru yang
menyadap kesenian tradisional dan
memodifikasikannya
dengan landasan budaya setempat. Jenis kesenian ini dapat diketahui dengan
melihat sentuhan budaya nasional di dalamnya. Kesenian kreasi baru jenis tari
dan teater kontemporer tampaknya menunjukkan nilai seni yang beragam pula.
Misalnya Sendratari Lancang Kuning mengandung nilai tarianZapin, Cik Masani
diangkat dari gerak tari Makyong, Hang Tuah memanfaatkanbeberapa gerak tari
Melayu lama. Demikian pula dengan garapan baru dari beberapa teater rakyat
seperti Gubang, Makyong, Mendu, dan Bangsawan. Garapan musik kreasi baru belum
begitu intens dikerjakan, meskipun bentuk ghazal dan orkes Melayu masih hidup
di beberapa tempat. Padahal lagu-lagu Melayu lama masih terus dinyanyikan
secara luas. Bagaimanapun juga lagu-lagu Melayu lama ini lebih dikenal di
desa-desa daripada di kota-kota.
Sikap masyarakat kota di Riau tidak seperti
sikap masyarakat Sumatera Barat terhadap lagu-lagu tradisionalnya.
Seniman-seniman Padang dan sekitarnya banyak yang masih menggarap lagu-lagu
daerah mereka dengan penuh gairah, bahkan lagu-lagu Melayu juga digarap.
Dengan kemajuan yang mereka capai, lagu-lagu Melayu sudah menjadi seperti lagu
Minang. Di Riau sendiri orang kurang peduli terhadap warisan lagu-lagu lama
Melayu. Agaknya sejarah kebudayaan menghendaki budaya Melayu dinikmati dan
dimanfaatkan oleh sukusuku lainnya di negeri ini, seperti halnya kebudayaan
Melayu diperkokoh oleh pengaruh-pengaruh yang tersaring dari mana saja.
3.Jenis-Jenis
Kesenian Riau
Salah satu kesenian Riau adalah teater. Teater
merupakan sebuah karya seni yang kompleks, karena di dalamnya juga terdapat
unsur-unsur kesenian lain. Di beberapa desa dan kota di Riau masih dijumpai
jenis-jenis teater klasik. Bentuk kesenian ini semakin berkembang dan kokoh
setelah mendapat kesempatan memasuki istana, sehingga bentuknya kemudian
menunjukkan ciri-ciri istana yang berbeda dengan wujud awalnya sebagai kesenian
rakyat. Hal ini karena saat memasuki istana, penampilan teater Makyong, Mendu,
Mamanda, dan Bangsawan diperhalus.
Seni tari yang muncul dalam teater Mendu
berupa tarianLadun, JalanKunon, Air Mawar, Beremas, dan Lemak Lamun. Seni tari
yang muncul dalam Makyong berupa tarian Selendang Awang, Timang Welo, Berjalan
Jauh, dan tarian penutup berupa tarian Cik Milik. Dalam Bangsawan juga terdapat
tari-tari hiburan seperti Jula-Juli, ZumGaligaLizum, Mak Inang Selendang, dan
jenisjenis langkah Zapin.
Seni suara merupakan napas pertunjukan Mendu,
Makyong, dan Bangasawan. Dalam Mendu terdapat lagu Lakau, Ladun, Madah, Air
Mawar, Lemak Lamun, Tala Satu, Ayuhai, Nasib, dan Tala Empat. Dalam Makyong
terdapat nyanyian seperti Cik Milik, Timang Bunga, Selendang Awang, Awang Nak
Beradu, Puteri Nak Beradu, dan Dondang Di Dondang. Dalam Bangsawan terdapat
nyanyian seperti Berjalan Pergi, Lagu Stambul Dua, Dondang Sayang, Nyanyi Pari,
Nasib, dan lain-lain.
Alat-alat musik yang dipakai dalam pertunjukan Mendu ialah gendang
panjang, biola, gung, beduk, dan kaleng kosong, sedangkan dalam pertunjukan
Makyong digunakan nafiri, gendang, gung, mong, breng-breng, geduk-geduk, dan
gedombak. Dalam Bangsawan dipakai peralatan orkes Melayu lengkap. Pertunjukan
Mendu dan Makyong sangat mengandalkan upacara yang bersifat ritual seperti buka
tanah dan semah. Dalam upacara ini digunakan mantra dan serapah.
4.Rintisan
Pengarang Riau Abad Ke-19 Dan Awal Abad Ke-20
Kekentalan imajinasi dan bunyi yang terkandung
di dalam mantra, serapah, dan jampi telah menarik perhatian seorang penyair
nasional asal Riau, SutardjiCalzoumBachri, untuk memanfaatkan jiwa yang
terkandung dalam warisan purba Melayu itu dalam penciptaan puisi modern.
Barangkali penggunaan bir oleh penyair terkenal ini diadaptasi dari para
pengemban seni tradisional untuk mencapai keadaan trance. Mantra, serapah, dan
jampi juga menarik perhatian penyair lainnya, Ibrahim Sattah. Untuk mendapatkan
warna lain, penyair ini memusatkan perhatiannya pada sajak permainan anak-anak
yang banyak terdapat di daerah Riau. Pola gubang yang terdapat pada Orang Laut
juga dimanfaatkan oleh penulis karya pentas kontemporer, seperti halnya dalam
naskah teater Indonesia. Tahun 1980 dari Riau muncul naskah Warung Bulan.
Bidang sastra di Riau mempunyai landasan yang
cukup kokoh. Pada abad ke-19 para penulis daerah ini mencapai puncak
kreativitasnya. Hal ini terlihat bukan saja dari jumlah karya yang dihasilkan,
tetapi juga dari hasrat masyarakat untuk bersusastra, seperti yang dijelaskan
oleh Virginia Matheson dan Barbara Watson Andaya dalam tulisannya “Pikiran
Islam dan Tradisi Melayu-Tulisan Raja Ali Haji dari Riau” yang dimuat dalam
buku Dari Raja Ali Haji Hingga Hamka.
Tampilnya Raja Ali Haji sebagai seorang
sastrawan, ahli bahasa, penulis sejarah, dan ulama menjadikan Riau terpandang
dalam dunia kebudayaan. Beliau pergi meninggalkan jejak yang diikuti oleh
sederetan penulis yang juga menghasilkan karya tulis, antara lain Raja Ali
Kelana. Raja Ali Kelana telah menghasilkan buku Pohon Perhimpunan, Percakapan
Si Bakhil, dan Bughyatal Ani Fi Huruf alMa‘ani. Jejak ini juga diikuti oleh
Hitam Khalid bin Hassan, Engku Umar bin Hassan Midai, Raja Ahmad Tabib, Abu
Muhammad Adnan, dan lain-lain. Para penulis wanita pun tidak ketinggalan,
sehingga Riau mengenal Raja Zaleha, Aisyah Sulaiman, Salmah binti Ambar, dan
Badriyah Muhammad Taher.
Rintisan yang dibuat oleh para penulis Riau
abad ke-19 dan awal abad ke20 ini kelak memunculkan penulis-penulis seperti Hanafi
Tsuyaku, SoemanHs, Wan Khalidin, S.H. yang dikenal dengan nama DassChall,
kemudian berlanjut kepada penulis masa kini yang menghasilkan karya-karya
sastra berbentuk sajak cerita pendek, novel, naskah sandiwara, esai dan artikel
budaya, serta cerita anakanak. Semua itu menggambarkan bahwa hasrat
berkesenian/bersusastra di kalangan seniman dan sastrawan Melayu Riau tidak
pernah padam. Sayangnya seniman dan sastrawan Riau ini kurang mendapat sambutan
dan kurang dikenal di daerahnya. Mereka seperti orang asing di kampungnya
sendiri.
5.Seni
Bangunan Dan Seni Kerajinan
Hasil kesenian Riau yang perlu dicatat masih
banyak, di antaranya adalah seni bangunan dan seni kerajinan. Kedua seni ini
juga menunjukkan ciri khas Riau. Kerajinan tenun kain, anyaman, sulaman, tekat,
renda, hiasan tudung saji, terandak, dan lainnya berkembang dengan baik.
Kerajinan tenun Riau mempunyai banyak motif, seperti motif bunga, daun,
binatang, awan larat (awan berarak), dan ukiran kaligrafi. Kain tenun khas Riau
antara lain kain tenun Siak dari Siak Sri Indrapura, kain sutera corak lintang
dari Siantan, serta kain sutera petak catur dan kain mastuli dari Daik Lingga.
Seniman Tenas Effendy telah berusaha
mengungkap motif-motif yang dulu kurang dikenal dalam senirupa Melayu, seperti
motif bunga cengkih, pucuk rebung, awan larat, wajik-wajik, bunga kiambang,
bunga berembang, bunga hutan, bunga melur, tampuk manggis, cempaka,
kunyit-kunyit, pinang-pinang, naga-naga, lebah bergantung, ikan, ayam, sayap
layang-layang, siku keluang, dan lain-lain. Seniman ini dikenal sebagai orang
yang berikhtiar untuk melestarikan seni bangunan dan seni tradisional Melayu
Riau lainnya, termasuk sastra lisan. Motif-motif ukiran dalam kesenian Melayu
klasik masih dapat kita lihat dalam bentuk ukiran kaligrafi dari ayat-ayat Al
Quran atau syair-syair Arab pada mimbar dan mihrab masjid-masjid tua di seluruh
Riau atau pada nisan-nisan lama.
Seni bangunan Melayu yang asli juga masih terdapat di seluruh Riau.
Meskipun beragam dan sedikit berbeda, namun semuanya masih memperlihatkan
benang merah yang menunjukkan cikal-bakalnya pada masa lampau.
BAB III
PENUTUP
a.Kesimpulan
- Kondisi Geografis
Provinsi
Riau
Daerah
Provinsi Riau yang terletak antara 10 5’ Lintang Selatan dengan 20
25’ Lintang Utara dan 1000 dengan 1050 45’ Bujur Timur,
sebelah utara berbatasan dengan provinsi Sumatera Utara dan Selat Malaka,
sebelah selatan berbatasan dengan Provinsi Jambi, sebelah timur berbatasan
dengan Selat Malaka, Selat Singapura dan Laut Cina Selatan, dan sebelah barat
berbatasan dengan Provinsi Sumatera Barat dan Provinsi Sumatera Utara.
Provinsi
Kepulauan Riau
Secara
geografis provinsi Kepulauan Riau berbatasan dengan negara tetangga, yaitu
Singapura, Malaysia dan Vietnam yang memiliki luas wilayah 251.810,71 km²
dengan 96 persennya adalah perairan dengan 1.350 pulau besar dan kecil telah
menunjukkan kemajuan dalam penyelenggaraan kegiatan pemerintahan, pembangunan,
dan kemasyarakatan.
-
Sistem Religi
Penduduk daerah Riau umumnya adalah pemeluk
agama Islam yang taat. Agama Islam di daerah ini telah dianut penduduk sejak
masuknya agama Islam yang diperkirakan sejak abad ke-11 dan 12 M.
-
Sistem Kemasyarakatan
Kerukunan merupakan cirri khas dari
masyarakat kampung-kampung
tersebut. Adanya
kerukunan ini bukan disebabkan karena paksaan dari luar berupa sangsi-sangsi
hukuman yang keras, tetapi memang timbul dari hati nurani yang dipengaruhi oleh
norma-norma yang hidup dimasyarakat
itu.
-
Sistem pengetahuan
Sistem
pengetahuan yaitu mengenai pengetahuan alam sekitar, tentang bahan mentah/
galian, dan tentang kelakuan dengan sesama manusia.
-
Bahasa
Bahasa yang dipakai adalah bahasa resmi yaitu
Bahasa Indonesia dan ada juga yang menggunakan bahasa Melayu.
-
Kesenian
Salah satu kesenian Riau adalah teater. Teater
merupakan sebuah karya seni yang kompleks, karena di dalamnya juga terdapat
unsur-unsur kesenian lain.
-
Sistem mata pencaharian hidup
Orang Melayu yang tinggal di desa,
mayoritasnya menjalankan aktivitas pertanian dan menangkap ikan. Orang Melayu
yang tinggal di kota kebanyakannya bekerja dalam sektor dinas, sebagai pekerja
di sektor perindustrian, perdagangan, pengangkutan, dan lain-lain.
-
Sistem teknologi dan peralatan
Sejak zaman bahari masyarakat Melayu Riau
sudah memiliki bermacam cara untuk memenuhi keperluan hidup. Artinya sejak masa
lampau masyarakat Melayu Riau telah menguasai teknologi. Teknologi ini
diklasifikasi menjadi teknologi pertanian, pernikahan, peternakan, pertukangan,
perkapalan, pertambangan, dan pengolahan bahan makanan.
b.Saran
Dibandingkan dengan pembangunan fisik,
perhatian terhadap kesenian agak jauh tertinggal. Selain mementingkan
pembangunan fisik, pembangunan spiritual di daerah ini hendaknya digalakkan
pula. Melalui sandiwara dan media seni lainnya, pesan-pesan pembangunan dapat
disampaikan dengan baik. Untuk itu diperlukan pengadaan naskah-naskah yang
dapat menunjang tujuan tersebut.
Sehingga kebudayaan Melayu-Riau tetap
terpelihara dengan baik tanpa menghilangkan kebudayaan-kebudayaan aslinya.